Rabu, 28 Desember 2022

 

ARGUMEN KRITIS TENTANG GERAKAN TRANSFORMASI KI HADJAR DEWANTARA DALAM PERKEMBANGAN PENDIDIKAN SEBELUM DAN SESUDAH KEMERDEKAAN

    Ki Hadjar Dewantara adalah bapak pendidikan Indonesia yang dimana beliau lahir di Yogyakarta pada tanggal 2 mei 1889.Ki Hadjar Dewantara merupakan cucu dari Sri Paku Alam III dan ayahnya bernama Soerjaningrat. Ki Hadjar Dewantara merupakan bangsawan jawa, aktivis pergerakan kemerdekaan Indonesia meliputi kolumnis,politisi dan pelopor pendidikan bagi kaum pribumi dari zaman penjajahan belanda. Ki Hadjar Dewantara dibesarkan dilingkungan keluarga kraton Yogyakarta beliau pada waktu itu mendapatkan pendiikan di ELS (Europeesche Lagere School) yaitu sekolah rendah untuk anak-anak eropa.kemudian ki hajar dewantara mendapatkan kesempatan untuk masuk sekolah STOVIA (School tot Opleiding voor inlandsche artsen) atau yan sering disebut sekolah dokter jawa.Selain mendapatkan pendidikan formal dilingkungan istana paku alam, ki hajar dewantara juga mendapatkan pendidikan formal antara lain:
1.  Europeesche Lagere School (ELS) atau Sekolah Belanda III.
2.  Kweek School (Sekolah Guru) di Yogyakarta.
3. School Tot Opleiding Van Indische Artsen (STOVIA), sekolah kedokteran yang berada di Jakarta. Pendidikan di STOVIA ini tidak dapat diselesaikan karena beliau sakit.
Saat genap berusia 40 tahun menurut hitungan Tahun Caka, Raden Mas Soewardi Soeryaningrat berganti nama menjadi Ki Hadjar Dewantara. Semenjak saat itu, Ki Hadjar Dewantara tidak lagi menggunakan gelar kebangsawanan di depan namanya.Hal ini dimaksudkan supaya Ki Hadjar Dewantara dapat bebas dekat dengan rakyat, baik secara fisik maupun hatinya. Ki Hadjar Dewantara menamatkan Sekolah Dasar di ELS (Sekolah Dasar Belanda) dan kemudian melanjutkan sekolahnya ke STOVIA (Sekolah Dokter Bumiputera) tapi lantaran sakit, sekolahnya tersebut tidak bisa dia selesaikan.Ki Hadjar Dewantara kemudian bekerja sebagai wartawan di beberapa surat kabar antara lain Sedyotomo, Midden Java, De Express, Oetoesan Hindia, Kaoem Moeda, Tjahaja Timoer dan Poesara. Pada masanya, Ki Hadjar Dewantara dikenal penulis handal. Tulisan-tulisannya sangat komunikatif, tajam dan patriotik sehingga mampu membangkitkan semangat antikolonial bagi pembacanya.
Selain bekerja sebagai seorang wartawan muda, Ki Hadjar Dewantara juga aktif dalam berbagai organisasi sosial dan politik. Pada tahun 1908, Ki Hadjar Dewantara aktif di seksi propaganda Boedi Oetomo untuk mensosialisasikan dan menggugah kesadaran masyarakat Indonesia pada waktu itu mengenai pentingnya persatuan dan kesatuan dalam berbangsa dan bernegara. Kemudian, bersama Douwes Dekker (Dr. Danudirdja Setyabudhi) dan dr. Cipto Mangoenkoesoemo yang nantinya akan dikenal sebagai Tiga Serangkai, Ki Hadjar Dewantara mendirikan Indische Partij (partai politik pertama yang beraliran nasionalisme Indonesia) pada tanggal 25 Desember 1912 yang bertujuan mencapai Indonesia merdeka.
Mereka berusaha mendaftarkan organisasi ini untuk memperoleh status badan hukum pada pemerintah kolonial Belanda. Tetapi pemerintah kolonial Belanda melalui Gubernur Jendral Idenburg menolak pendaftaran itu pada tanggal 11 Maret 1913 karena organisasi ini dianggap dapat membangkitkan rasa nasionalism dan kesatuan rakyat untuk menentang pemerintah kolonial Belanda.
Semangatnya tidak berhenti sampai sini. Pada bulan November 1913, Ki Hadjar Dewantara membentuk Komite Bumipoetra yang bertujuan untuk melancarkan kritik terhadap Pemerintah Belanda. Salah satunya adalah dengan menerbitkan tulisan berjudul Als Ik Eens Nederlander Was (Seandainya Aku Seorang Belanda) dan Een voor Allen maar Ook Allen voor Een (Satu untuk Semua, tetapi Semua untuk Satu Juga) di mana kedua tulisan tersebut menjadi tulisan terkenal hingga saat ini. Tulisan Seandainya Aku Seorang Belanda dimuat dalam surat kabar de Expres milik dr. Douwes Dekker.
Akibat karangannya itu, pemerintah kolonial Belanda melalui Gubernur Jendral Idenburg menjatuhkan hukuman pengasingan terhadap Ki Hadjar Dewantara. Douwes Dekker dan Cipto Mangoenkoesoemo yang merasa rekan seperjuangan diperlakukan tidak adil menerbitkan tulisan yang bernada membela Ki Hadjar Dewantara. Mengetahui hal ini, Belanda pun memutuskan untuk menjatuhi hukuman pengasingan bagi keduanya. Douwes Dekker dibuang di Kupang sedangkan Cipto Mangoenkoesoemo dibuang ke pulau Banda.
Namun mereka menghendaki dibuang ke Negeri Belanda karena di sana mereka bisa mempelajari banyak hal dari pada di daerah terpencil. Akhirnya mereka diizinkan ke Negeri Belanda sejak Agustus 1913 sebagai bagian dari pelaksanaan hukuman. Kesempatan itu dipergunakan untuk mendalami masalah pendidikan dan pengajaran, sehingga Ki Hadjar Dewantara berhasil memperoleh Europeesche Akte. Pada tahun 1918, Ki Hadjar Dewantara kembali ke tanah air.Ki Hadjar Dewantara dikukuhkan sebagai pahlawan nasional yang kedua oleh presiden Soekarno pada 28 November 1959 untuk mengingat jasa jasa Ki Hadjar dewantara maka didirikanlah Museum dewantara Kirti Griya di Yogyakarta.

 

Sumber Referensi :
            Yanuarti Eka, (2017). Pemikiran Pendidikan Ki Hadjar Dewantara dan Relevansinya dalam           Kurikulum K13 . Jurnal penelitian, 1 (1).

Hendratmoko Taufik dkk, (2017).Tujuan Pembelajaran Berlandaskan Konsep Pendidikan Jiwa  Merdeka Ki Hajar Dewantara. Jurnal Ilmiah Pendidikan, 3 (2).


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kesimpulan

Pada pembelajaran filosofi Pendidikan, dapat saya simpulkan bahwasanya perkembangan Pendidikan di Indonesia mulai zaman kolonial sampai saat...